Thursday, February 11, 2021

Rigo Aslah (Part 1)

Saya pernah bercerita di blog ini, bagaimana saya menjalani proses kehamilan hingga kelahiran anak pertama saya, Giomar Adiasta Aslah pada tahun 2015 hingga Februari, 2016.  Pada kehamilan kedua ini pun, saya ingin menuangkannya di dalam blog ini.


Teruntuk Rigo Aslah, sayangnya Ibu, Ayah dan Mas Giomar.


Enam bulan setelah kelahiran Giomar, tepatnya Agustus 2016, siklus menstruasi saya mulai kembali seperti semula. Pada bulan berikutnya, kami memutuskan untuk menggunakan alat kontrasepsi IUD. Fyi, semenjak menggunakan IUD, jumlah darah menstruasi pun menjadi lebih banyak dan siklusnya lebih panjang. Selain kedua hal tersebut, tidak ada keluhan yang berarti bagi saya maupun suami.


Sejak Giomar berumur empat tahun, suami mulai nanya-nanya soal nambah anak. Tapi saya pribadi masih belum mau dan suami menghargai keputusan saya. Menjelang ulang tahun Giomar yang ke-5, saya dan suami mulai berdiskusi (meskipun masih alot) untuk kasih adek buat Giomar. Lalu pada tanggal 19 Oktober 2020, siklus menstruasi saya tidak sesuai jadwal dan tidak banjir seperti biasanya, hanya keluar flek selama lima hari. Pada hari ke-3 menstruasi, saya memutuskan untuk ke dokter kandungan. Nah, pertanyaan selanjutnya adalah siapa dokter kandungannya? Dokter kandungan sewaktu hamil dan lahiran Giomar, dr. Bambang Muliawan, Sp.OG, beliau sakit, jadi tidak bisa praktek lagi. Lalu dr. Farchan Djoened, Sp.OG, dokter kandungan yang memasang IUD saya pun tidak praktek selama pandemik ini. Akhirnya, saya memutuskan untuk tetap kontrol di rumah sakit tempat saya melahirkan Giomar dengan dokter siapapun yang available hari itu. Sebelum ke dokter kandungan, saya dan suami sepakat untuk sekalian lepas aja deh IUD nya. Singkat cerita, setelah dicek, dan lepas IUD, kondisi rahim dan ovarium saya baik. Flek yang sedang saya alami, kemungkinan karena faktor makanan, kelelahan atau stress. Saya pun diberi suplemen asam folat untuk satu bulan.


Menjelang satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 15 November 2020, saya ngerasa nggak enak badan. Tanpa pikir panjang, saya beli test pack. Dan benar saja, dua garis merah! Alhamdulillah…. Langsung putar otak mau kontrol kehamilan sama dokter siapa, mau di rumah sakit mana. Keesokan harinya, setelah sholat Subuh, saya ribet sendiri, coba test pack lagi, dan memang bener dua garis merah. Lalu saya memanggil suami dan kasih lihat hasil test pack.


Yhaaaa diaaaa terkejut!


Satu minggu setelah test pack, kami kontrol ke rumah sakit berbeda dan dengan dokter yang berbeda juga. Pilihan dokternya pun sangat random, ya, yang available hari itu dan sesuai dengan jam kerja suami. Alhamdulillah setelah dicek, kantong kehamilan sudah berukuran 6 minggu 2 hari. Saya ingat sekali, dokternya bilang, “Bu, Pak, ini lingkaran putih kantong kehamilannya tebal. Yang kaya gini kuat biasanya.” Kami mengaminkan ucapan dokter. Awalnya dokter bilang bahwa dalam dua minggu, harusnya kami sudah kontrol lagi, tapi karena Covid-19, beliau menyarankan untuk kontrol satu bulan lagi. Sebelum kehamilan, saya sudah mengkonsumsi vitamin D, karena hasil lab menunjukkan kalau vitamin D saya sangat rendah. Dokterpun hanya meresepkan suplemen asam folat. Karena menjelang akhir tahun, kami pun mempercepat jadwal kontrol bulan berikutnya. Kali ini kami kontrol ke tempat praktek dokter dr. Inayatullah Rifai, Sp.OG. Aslinya beliau praktek di Rumah Sakit Azra, Bogor. Sama hal nya dengan kontrol pertama, semua baik-baik saja, umur janin sudah 8 minggu. Kami diresepkan suplemen asam folat dan kalsium. Beliau pun mengingatkan apabila mual, obatnya hanya sabar =')


Mual? Muntah? Males? Nggak semangat? Oh ya iya dong! Tidak jauh berbeda dengan kehamilan Giomar, dikehamilan kedua ini tentunya saya merasakan semua itu. Tapi walaupun mual dan muntah, saya usahakan tetap makan, rutin mengkonsumsi suplemen yang diresepkan oleh dokter kandungan.


Lima minggu setelah kontrol dengan dr. Inayatullah, saya “ngungsi” ke rumah Mama karena merasa butuh bala bantuan untuk menemani Giomar. Kebetulan di rumah Mama ada Teteh yang mau ngejagain Giomar. Alhamdulillah! Nah, karena jarak dari rumah Mama ke RS. Azra/ke rumahnya dr. Inayatullah cukup jauh, akhirnya saya kembali ke rumah sakit tempat lahirannya Giomar. Duh, maaf yaaaaa kalo pusing karena pindah-pindah rumah sakit melulu. Tapi jujur, tidak mudah hamil di saat pandemik apalagi kalau dokter langganan tidak praktek =’(


Ada yang tidak biasa saat kontrol di minggu ke-13 ini, pada saat USG, cukup lama dokter puter sana-sini, feeling saya sudah nggak enak. Dokter kemudian bilang, “Bu, bulan depan kontrol ke dokter fetomaternal ya!”. Seketika jantung saya berdegup kencang, karena sewaktu hamil Giomar, jujur, saya nggak pernah ke dokter fetomaternal dan di Bogor (kalau nggak salah), cuma sedikit dokter fetomaternal. Tanpa ragu saya bertanya, “Kenapa dok? Ada masalah ya?” Dokter menjelaskan bahwa janin dalam kondisi baik, sesuai umur, tapi beliau kesulitan untuk mengukur kepala. Saya langsung tanya, selain menemui dokter fetomaternal, apakah saya perlu cek lab dll? Beliau bilang tidak perlu. Beliau hanya meminta saya untuk kontrol ke dokter fetomaternal bulan depan, saat kandungan memasuki 17 minggu. Kenapa harus menunggu satu bulan? Menurut beliau saat ini janin masih terlalu kecil untuk USG fetomaternal, akan lebih baik jika janin sudah agak lebih besar. Sepulang dari dokter, saya langsung menghubungi suami dan suami tau, pasti saya panik tapi dia coba menenangkan. Tapi feeling saya nggak enak, saya tau banget kalau ini ada masalah. Karena dilihat dari hasil USG, bentuk kepala tidak bulat seperti yang seharusnya. Saya sampai mencari foto USG Giomar saat berumur 12 minggu, dan terlihat berbeda. Saya memberikan pilihan kepada suami, mau ketemu dokter fetomaternal satu bulan lagi atau mencari second opinion dalam waktu dekat. Kami sepakat untuk mencari second opinion di rumah sakit dekat rumah Mama. Lagi-lagi dengan dokter dan rumah sakit berbeda =’)


Dokter yang kali ini kami temui, benar-benar memberikan opininya. Dia menjelaskan bahwa dia hanya melihat selaput yang menutupi otak janin. Tidak ada tengkorak atau batok yang menutupinya. Diagnosa yang beliau berikan adalah Acranii. Sama seperti dokter sebelumnya, beliau menyarankan untuk bertemu dengan dokter fetomaternal. Lalu saya bertanya, “Kapan baiknya saya ke dokter fetomaternal? Menunggu satu bulan lagi atau segera?” dengan tegas beliau bilang, “Segera, Bu, kalau ada hari ini, lebih baik hari ini.” Sesampainya di parkiran mobil, kami segera mencari informasi jadwal dokter fetomaternal dan ternyata hari itu dokter yang direkomendasikan praktek! Sambil menunggu jadwal dokter, kami memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, selama perjalanan saya hanya bisa menangis. Sedih, sesak, patah hati dan bingung harus bagaimana. Selama perjalanan, suami cuma bisa bilang, “Sabar ya, Bu…”

 

“Bu, Pak, ini saya periksa dulu satu per satu, nanti setelah semua selesai, akan saya jelaskan.” Tapi belum selesai dokter fetomaternal memeriksa, beliau bertanya, “Ibu, pernah dengar yang namanya Anencephaly?” Saya menggelengkan kepala, “Apa itu, Dok? Dokter terdiam sejenak, “Iya, Bu, jadi tempurung kepalanya tidak terbentuk sempurna.” Saya dan suami pun terdiam. Lebih tepatnya nahan nangis. Setelah semua dicek, terakhir dokternya bilang, “Laki-laki nih, Bu!” =’’’’’’’’’’(

Kami pun mengajukan beberapa pertanyaan seperti:

  1. Apakah tempurung kepala bisa menutup seiring berjalan waktu sampai sembilan bulan nanti? Tidak.
  2. Apakah ada obat yang bisa membuat tempurung kepala menutup? Tidak.
  3. Kenapa bisa terjadi seperti ini? Sebagian besar kasus Anencephaly terjadi karena sang ibu kurang asam folat atau punya autoimun. Namun semuanya bisa dicegah dengan mengkonsumsi asam folat minimal tiga bulan dengan dosis yang berbeda seperti ibu hamil pada umumnya.
  4. Apakah saya perlu cek laboratorium? Tidak.
  5. Apakah yang harus kami lakukan? Beliau tidak menjawab. Beliau hanya bercerita bahwa pasiennya ada yang memutuskan untuk menunggu hingga bulannya melahirkan meskipun setelah lahir, bayi tidak selamat. Dan sesuai kode etik, karena beliau adalah dokter rekomendasi, beliau meminta kami untuk berdiskusi dengan dokter kandungan pertama kami. Beliau meminta kami untuk datang sekali lagi pada umur kehamilan mencapai 20 minggu.

Semalaman saya tidak bisa tidur (jujur, sejak kontrol ke dokter pertama, saya tidak bisa tidur nyenyak). Tengah malam saya terbangun dan nangis sambil mengelus-elus perut.


Keesokan harinya, saya dan suami berdiskusi kembali mau bagiamana. Saya bilang kepada suami kalau saya mau ke dokter dr. Inayatullah, Sp.OG di RS. Azra, Bogor dengan harapan beliau memberikan solusi untuk kami. Sesampainya di ruang praktek, dr. In melihat buku-buku konsultasi kehamilan saya. Lalu bertanya tentang keluhan saya seperti apa. Tanpa panjang lebar saya langsung bilang, “Kandungan saya terdiagnosa Anensefali dan saya mau minta pendapat serta solusi dari dokter.” Lalu beliau bertanya mengenai urutan kontrol saya dengan dokter-dokter sebelumnya. Kamudian beliau melihat hasil USG fetomaternal secara seksama. Ketika USG, beliau meng-iya-kan semua diagnosa yang diberikan dokter-dokter sebelumnya. Beliau bilang bahwa janin kami tidak memiliki tempurung/batok kepala. Jadi, dari mata, tidak ada jidat, langsung otak yang terekspos langsung dengan ketuban. “Bu, ini jaringan otak janin bersentuhan langsung dengan air ketuban.” Saat itu juga saya menangis karena USG nya sangat jelas. Saya melihat bagaimana jariangan otak melayang-layang. Setelah tenang, suami berbisik, “Sama dr. Inayatullah aja ya!” saya hanya mengangguk. Dr. In bilang sebenarnya diagnosa dokter fetomaternal sudah paling confirmed karena dokter feto merupakan top nya dokter kandungan. Lalu kami bertanya, selanjutnya kami harus bagaimana. Beliau menuliskan sambil menjelaskan tiga pilihan yang bisa kami pilih:

  1. Secara pasif yaitu melahirkan saat sembilan bulan nanti. Dengan resiko ketika lahir, bayi tidak akan bertahan setelah dilahirkan dan kemungkinan meninggal sebelum bulannya pun bisa terjadi;
  2. Mengkonsumsi obat selama 30 hari diselingi USG setiap 10 hari. Apalabila gagal, kuretase dan
  3. Melahirkan diumur 14 minggu (sekarang) dengan induksi (obat dan balloon catheter), apabila gagal, kuretase.

Kami kembalikan lagi pilihan tersebut kepada dr. Inayatullah, baiknya kami memilih yang mana. Tanpa menjelaskan sebab musabab ini bisa terjadi, dengan bijaksana dan empati, beliau meyakini kami untuk memilih pilihan ketiga. Beliau bilang bahwa apabila menunggu beberapa minggu lagi, kondisinya akan tetap sama dan tentunya semakin lama akan semakin terasa berat dan sedih. Karena sedang Covid, kami meminta beliau menjelaskan proses rawat inap. Dengan sabar beliau menuliskan dan menjelaskan proses nya satu per satu...


PS: Mohon maaf karena tidak menyebutkan dokter kandungan yang lain karena memang pada akhirnya tindakan dilakukan oleh dr. Inayatullah.